Rabu, 08 Juni 2011

Wisata Kenjeran, Sisa Pemerkosaan Ekologi


Warga Cumpat dan Nambangan di sekitar pantai Kenjeran Surabaya menceritakan bahwa penambangan pasir laut Selat Madura sudah dilakukan sejak sekitar tahun 1970-an.
 
Pada masa lalu, warga sekitar pantai Kenjeran bisa menikmati hamparan pasir laut di pantai, anak-anak kecil bermain riang menjadi bagian alam yang masih murni dan indah. Para nelayan hidup tentram berkecukupan sebab populasi biota laut masih beragam dan banyak.

Pada waktu itu para nelayan sekitar Kenjeran belum merasakan akibat buruk eksploitasi pasir laut di lingkungan mereka. Tetapi lama kelamaan dirasa biota laut makin berkurang. Pasir laut di bibir pantai makin surut, sehingga pemukiman penduduk di pinggir pantai mulai terancam abrasi. Tapi di zaman Orde Baru tak ada yang berani menentang eksploitasi pasir laut tersebut.

Barulah sekitar tahun 2006 sekelompok kecil penduduk nelayan Cumpat dan Nambangan, Kedung Cowek Surabaya mengeluh kepada Walhi Jawa Timur. Walhi segera merespon pengaduan beberapa nelayan yang nasibnya semakin tidak baik itu. “Kami butuh dukungan Walhi, sebab yang kami hadapi selain perusahaan penambang juga Camat dan oknum-oknum aparat TNI yang menekan kami agar tidak melawan pengambilan pasir laut oleh perusahaan.”

Turut mendampingi warga nelayan, juga para sahabat dari LHKI Surabaya dan KPPD.  Setelah melalui beberapa kali pertemuan dan diskusi-diskusi, kepercayaan diri warga nelayan menguat. Sampai-sampai ada yang bilang, “Wah, kalau tahu hukumnya begini, saya berani sendiri menghadapi Pak Camat dan tentara yang biasa mendatangi kami!”

 
Pasir laut selat Madura konon dieskploitasi untuk keperluan reklamasi serta pengurukan lahan-lahan perumahan yang dibangun developer ternama di Surabaya. Itu tampak dari dokumen-dokumen yang kami temukan. Mungkin para pembeli rumah megah-megah di Surabaya tidak tahu bahwa rumah-rumah mereka dibangun di atas urukan pasir laut yang mencekik leher nasib para nelayan di sekitar selat Madura.

Upaya mengadu ke parlemen Kota Surabaya dan Provinsi Jawa Timur dilakukan. Semula parlemen begitu semangat menerima pengaduan warga nelayan itu. Tetapi ujung-ujungnya, setelah beberapa kali pertemuan, keluar pernyataan yang mengecewakan, “Jika tidak setuju dengan Surat Izin Pertambangan Daerah (SIPD) yang dikeluarkan Pemerintah Provinsi Jawa Timur, ya digugat aja ke pengadilan!”

Padahal dalam dengar pendapat di gedung parlemen provinsi Jawa Timur diketahui ternyata SIPD Pemprov Jawa Timur itu melanggar aturan zonasi penambangan pasir laut. Pejabat Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) dengan arogan berkata: “Kami tunduk pada Peraturan Daerah Provinsi Jawa Timur, kami tidak tunduk pada Peraturan Menteri Perikanan dan Kelautan!”
Jika begitu, pikir saya, lebih baik Kementerian Perikanan dan Kelautan Indonesia ini dilikuidasi saja! Jawa Timur bikin negara sendiri!
“Kami tidak akan melakukan upaya ke pengadilan untuk melawan Gubernur yang sudah jelas akan didukung perusahaan penambang! Kami rakyat kecil, tentu akan kalah di pengadilan melawan kapital korporasi. Tahu sendiri, pengadilan kita ini gampang disogok! Menggugat ke pengadilan sama halnya mencari jalan legalisasi kejahatan terhadap lingkungan itu!” Jawabku agak emosi waktu itu. (kayaknya waktu itu pasnya nggak begini, ini ditambah-tambahi sedikilah ya…! hehehe…. )

Upaya melalui jalan struktural pemerintahan gagal, sebab parlemen tidak memihak kepada jalan yang benar. Maka sejak itu warga nelayan tersebut sepakat menggunakan cara mereka sendiri, yaitu HUKUM RAKYAT!
Sepulang dari gedung parlemen yang gagah tapi ompong itu, kami berunding. Jalan satu-satunya adalah perjuangan seperti yang dilakukan para pejuang dalam melawan penjajah Belanda dan Jepang di masa lalu. Nasib tidak boleh diserahkan kepada penjajah, menjadi budak kekuasaan yang serakah. Lebih baik mati dalam perjuangan daripada hidup menjadi kaum terjajah.

Apalagi makin banyak orang yang hidup senang berdiri di atas derita para korban. Mereka ini adalah manusia yang lebih buruk dan jahat dibandingkan iblis, sebab iblis tidak pernah menjajah manusia. Manusia-manusia yang bekerja pada grup-grup perusahaan para penindas ini adalah manusia yang tak punya plihan hidup selain memilih menjadi para pengkhianat saudara-saudaranya sendiri. Mereka ini dengan tega memungut buah dan mengambil kayu dengan cara menggergaji dahan tempat nasib kehidupan saudaranya sendiri. Mereka merasa tidak bisa hidup enak jika tidak dengan cara menjadi antek-antek.

Maka, para nelayan yang sadar itupun sepakat untuk membentuk pasukan berani mati. Tak perlu banyak-banyak, cukup 20 orang saja. Pasukan berani mati ini akan mengusir paksa kapal penambang pasir laut di selat Madura. Jika tidak mau pergi maka kapal itu akan dibakar, sebab itu adalah kapal kejahatan yang harus disingkirkan, karena telah merusak alam dan nasib masyarakat nelayan. Manusia jika tidak ingin ditelan bencana harus bertindak mencegah dan menghentikan kejahatan ekologi itu.

 
Warga membuat kesepakatan: jika 20 orang pasukan berani mati itu masuk penjara, maka warga lainnya yang akan menanggung hidup keluarga yang ditinggal masuk penjara, secara bersama-sama.

Syukurlah, tak perlu harus ada peperangan, kapal pengeruk pasir itu mau mengalah, berhenti melakukan eksploitasi. SIPD Gubernur Jawa Timur bisa dihentikan berlakunya dengan perjuangan menegakkan Hukum Rakyat, tidak perlu digugat lewat pengadilan yang korup. Sebab, Hukum Penjajahan akan memenangkan penjajah dan menindas rakyat terjajah. Hukum Penjajahan demikian harus dilawan dengan hukum rakyat sendiri.

Kini, masyarakat Surabaya dan sekitarnya harus berterima kasih kepada nelayan pasukan berani mati itu, sebab dengan dihentikannya penambangan pasir laut di sekitar Pantai Kenjeran maka mereka masih bisa menikmati sisa-sisa pasir laut yang sudah kalah dengan volume lempung itu.

Pada hari-hari Minggu biasanya Taman Wisata Kenjeran yang ada di dua lokasi, di dekat Jalan Kenjeran dan di Kampung Sukolilo Surabaya, penuh oleh pengunjung. Meskipun keindahannya jauh dari natural, tapi itulah sisa-sisa pemerkosaan alam yang dimiliki rakyat yang selama ini tanpa sadar atau sadar menjadi korban konspirasi kejahatan struktural yang dilakukan korporasi atas legalisasi pemerintah berkuasa.

Minggu, 19 September 2010 aku mengajak anakku yang sulung (10 tahun) menengok Pantai Kenjeran yang ternyata dipenuhi pengunjung, banyak pula para pedagangnya. Meski tidak sesegar seandainya alamnya masih utuh, tapi yang sisa-sisa begitu ya nggak apa-apalah. Dinikmati saja. Itupun masih terancam dengan rencana-rencana baru pengerukan pasir yang diajukan untuk keperluan pembangunan perumahan yang makin menggerus lahan-lahan serapan dan pertanian di Jawa.
 
Lihatlah anakku senang menikmati alam Kenjeran sehingga bisa menghabiskan 1 mangkok soto, 2 mangkok bakso dan 2 gelas es jeruk serta 1 gelas es degan, hahahaha….. walah saya juga heran kenapa bisa begitu banyak dia makan hari Minggu itu. Apa gara-gara melihat Taman Wisata rekayasa yang pasir lautnya kalah dengan lempung laut itu ya? Hari itu sandal anakku hilang tenggelam di lempung. Andaikan hamparannya cuma pasir laut mungkin sandalnya tak akan hilang. Yaaah… barangkali itulah salah satu cara Tuhan memberi rejeki kepada penjual sandal di lokasi taman wisata Kenjeran itu.

Teganya manusia penguasa kapital, hanya karena nafsunya yang rakus maka alam dikorbankan. Seperti Mbah Gandhi bilang, “Dunia bisa mencukupi kebutuhan seluruh umat manusia, tapi tak akan cukup bagi seorang yang serakah.”
 
Sekarang, apakah anda tahu bahwa di sekitar anda ada pemerkosaan kepada alam lingkungan anda, sehingga tahu-tahu tempat tinggal anda tenggelam atau longsor?
Semoga saja tidak terancam seperti itu.

Semakin kita peduli dengan sahabat dan tempat hidup kita, bertanggung jawab secara bersama-sama untuk menjaganya, kita bukan hanya menyelamatkan diri kita sendiri, tetapi juga menyelamatkan anak-anak cucu kita dari akibat perusakan lingkungan hidup.

Manusia itu bagian dari lingkungannya sendiri. Jika lingkungannya rusak dan teracuni, maka manusia itu sendiri yang merugi, sedangkan pengambil keuntungannya yang tidak peduli nasib masyarakat bisa hidup di mana saja dengan tumpukan uangnya. Tapi apakah kita akan ikut menjadi “orang gila” seperti itu yang tega merusak nasib sesamanya?

sumber : regional.kompasiana.com (subagyo)


Artikel Terkait:

0 komentar:

Posting Komentar