Sabtu, 30 Juli 2011

MI. RIBATH DARUT TAUHID MENYAMBUT KEDATANGAN RAMADHAN



foto: bawei ahmad

sumbersegoro: MI. RIBATH DARUT TAUHID

semangat menyambut datangnya bulan suci ramadhan disambut gembira oleh anak-anak MI. RIBATH DARUT TAUHID. Mereka melaksnakan Kirab sepanjang jalan Nambangan Cumpat Surabaya. 

Desa yang teletak dikawasan tepi pantai yang tepatnya di kelurahan kedung cowek kecamatan bulak ini memang terkenal dengan Desa Santri, Dimana sebagaian besar penduduknya merupakan lulusan dari pondok pesantren. Tak heran acara peringatan hari - hari besar islam sering terjadi di tempat ini. 

Bunyi Genderam Drum Band dan barisan siswa serta guru yang panjang membuat warga berlari dan keluar dari rumah mereka untuk melihat kirab tersebut dan melihat anaknya sedang beraksi drum band. "Waah suatu kejutan yang luar biasa"  ungkap salah seorang warga karena tidak mengetahui kirab ini akan dilaksanakan. "Baru tahun ini kirab tersebut dilaksanakan, mudah mudahan untuk tahun-tahun mendatang semakin banyak warga untuk mengikuti jejak siswa ini untuk memperingati hari - hari besar Islam" ungkap guru siswa tsb.



   
Baca lebih lanjut →

SEJARAH PERJUANGAN SURABAYA


Kedatangan Tentara Jepang ke Indonesia

Tanggal 1 Maret 1942, tentara Jepang mendarat di Pulau Jawa, dan tujuh hari kemudian tanggal 8 Maret 1942, pemerintah kolonial Belanda menyerah tanpa syarat kepada Jepang berdasarkan Perjanjian Kalijati. Setelah penyerahan tanpa syarat tesebut, Indonesia secara resmi diduduki oleh Jepang.

Proklamasi Kemerdekaan Indonesia

Tiga tahun kemudian, Jepang menyerah tanpa syarat kepada sekutu setelah dijatuhkannya bom atom (oleh Amerika Serikat) di Hiroshima dan Nagasaki. Peristiwa itu terjadi pada bulan Agustus 1945. Dalam kekosongan kekuasaan asing tersebut, Soekarno kemudian memproklamirkan kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945.

Kedatangan Tentara Inggris & Belanda
 

Setelah kekalahan pihak Jepang, rakyat dan pejuang Indonesia berupaya melucuti senjata para tentara Jepang. Maka timbullah pertempuran-pertempuran yang memakan korban di banyak daerah. Ketika gerakan untuk melucuti pasukan Jepang sedang berkobar, tanggal 15 September 1945, tentara Inggris mendarat di Jakarta, kemudian mendarat di Surabaya pada tanggal 25 Oktober 1945. Tentara Inggris datang ke Indonesia tergabung dalam AFNEI (Allied Forces Netherlands East Indies) atas keputusan dan atas nama Blok Sekutu, dengan tugas untuk melucuti tentara Jepang, membebaskan para tawanan perang yang ditahan Jepang, serta memulangkan tentara Jepang ke negerinya. Namun selain itu tentara Inggris yang datang juga membawa misi mengembalikan Indonesia kepada administrasi pemerintahan Belanda sebagai negeri jajahan Hindia Belanda. NICA (Netherlands Indies Civil Administration) ikut membonceng bersama rombongan tentara Inggris untuk tujuan tersebut. Hal ini memicu gejolak rakyat Indonesia dan memunculkan pergerakan perlawanan rakyat Indonesia di mana-mana melawan tentara AFNEI dan pemerintahan NICA.

TEMPAT SEBELUM  DIBANGUNNYA TUGU PAHLAWAN
Bagi arek-arek Suroboyo, markas kempetai adalah simbol praktek jahiliah Jepang terhadap rakyat Indonesia. Di markas itulah segala bentuk kekejaman Kempetai Jepang terhadap rakyat Indonesia berlangsung. Tak terhitung banyaknya arek-arek Surabaya yang tewas karena penyiksaan oleh anggota Kempetai.

Rasa permusuhan arek-arek Suroboyo makin menjadi-jadi karena anggota Kempetai ndablek tidak segera menyadari perubahan politik yang terjadi disekitarnya. Mereka secara eksplisit tidak mengakui kenyataan bahwa sebuah negara berdaulat telah lahir. Dengan dalih tunduk pada ketentuan dalam perjanjian kapitulasi tanpa syarat Jepang terhadap Sekutu, anggota kempetai tidak mau mengakui lambang-lambang kedaulatan Indonesia. Selain itu, kehadiran anggota Kempetai yang masih bersenjata lengkap, dapat menjadi ”petasan dalam saku celana” yang sewaktu-waktu bisa meledak dan menimbulkan luka bagi perjuangan mempertahankan kemerdekaan.

Sikap Kempetai ini bermuara pada satu hal bagi para pemimpin arek-arek Suroboyo: cukuplah bagi Kempetai. Maka diputuskanlah untuk menyerang dan menghancurkan markas Kempetai. Agar serangan lebih memiliki daya rusak lebih hebat, ada pasukan yang membawa bom yang biasa dijatuhkan dari pesawat seberat sekitar dua ratus lima puluh kilogram. Bom itu secara perlahan digeser mendekati ke arah markas Kempetai. Namun tidak mudah untuk mendekati markas Kempetai dan kemudian meledakkan bom itu.

Pasukan Kempetai yang memang terkenal personel pilihan, tidak gampang menyerah begitu saja meski markasnya telah dikepung arek-arek Suroboyo. Mereka pun berusaha keras untuk mempertahankan markas mereka. Mengetahui bahwa ada bom dengan potensi daya ledak yang hebat sedang dibawa ke markas mereka, anggota Kempetai matian-matian menghambat pergerakan bom itu dengan menembaki para pembawa bom. Kempetai nampaknya tidak berani menembaki bom yang dibawa oleh para pejuang, mungkin takut dengan efek ledakannya.

Satu demi satu pejuang yang bertugas membawa bom gugur atau terluka oleh tembakan anggota Kempetai. Namun, begitu ada yang gugur atau terluka, dengan segera akan selalu ada seseorang yang bergegas mengambil alih membawa bom. Begitu seterusnya korban terus berguguran, tapi pembawa bom silih berganti muncul. Arek-arek Suroboyo benar-benar bertarung seperti banteng ketaton (banteng terluka). Tak jarang pejuang berikutnya yang mengambil alih membawa bom merangkak di atas tumpukan jenasah rekan-rekan seperjuangannya yang sebelumnya membawa bom. Banjir darah segar para syuhada bangsa deras mengalir menggenangi jalan. Tapi arek-arek Suroboyo pantang surut, terus maju mendekati markas Kempetai.

Hingga akhirnya....Bom itu pun berhasil mencapai tempat yang diinginkan. Selanjutnya...jedhueerrr....! Markas Kempetai, lambang kekejian paripurna pasukan Jepang, berhasil dijebol. Terbang pula semangat pasukan Kempetai. Gema takbir bergema dimana-mana diselingi teriakan-teriakan ” Maatekk ! Koen...C*k...!” (Mampuslah ! Kau...). Pasukan Kempetai yang dimasa lalu terdengar namanya saja disebut membuat bergidik banyak orang, akhirnya harus mengakui ketangguhan bertempur arek-arek Suroboyo.

Untuk mengenang peristiwa yang sangat heroik dan berdarah itu, pemerintah mendirikan Tugu Pahlawan tepat di lokasi bekas markas Kempetai. Jika melintas atau mengunjungi Tugu Pahlawan, ingatlah selalu pengorbanan besar para syuhada yang gugur saat menyerang markas Kempetai.

Insiden Hotel Yamato / Oranje / Majapahit (sekarang)

Setelah munculnya maklumat pemerintah Indonesia tanggal 31 Agustus 1945 yang menetapkan bahwa mulai 1 September 1945 bendera nasional Sang Saka Merah Putih dikibarkan terus di seluruh wilayah Indonesia, gerakan pengibaran bendera tersebut makin meluas ke segenap pelosok kota Surabaya. Klimaks gerakan pengibaran bendera di Surabaya terjadi pada insiden perobekan bendera di Yamato Hoteru / Hotel Yamato (bernama Oranje Hotel atau Hotel Oranye pada zaman kolonial, sekarang bernama Hotel Majapahit) di Jl. Tunjungan no. 65 Surabaya.
Sekelompok orang Belanda di bawah pimpinan Mr. W.V.Ch. Ploegman pada sore hari tanggal 18 September 1945, tepatnya pukul 21.00, mengibarkan bendera Belanda (Merah-Putih-Biru), tanpa persetujuan Pemerintah RI Daerah Surabaya, di tiang pada tingkat teratas Hotel Yamato, sisi sebelah utara. Keesokan harinya para pemuda Surabaya melihatnya dan menjadi marah karena mereka menganggap Belanda telah menghina kedaulatan Indonesia, hendak mengembalikan kekuasan kembali di Indonesia, dan melecehkan gerakan pengibaran bendera Merah Putih yang sedang berlangsung di Surabaya.


Hotel Yamato sekarang

Tak lama setelah mengumpulnya massa di Hotel Yamato, Residen Soedirman, pejuang dan diplomat yang saat itu menjabat sebagai Wakil Residen (Fuku Syuco Gunseikan) yang masih diakui pemerintah Dai Nippon Surabaya Syu, sekaligus sebagai Residen Daerah Surabaya Pemerintah RI, datang melewati kerumunan massa lalu masuk ke hotel Yamato dikawal Sidik dan Hariyono. Sebagai perwakilan RI dia berunding dengan Mr. Ploegman dan kawan-kawannya dan meminta agar bendera Belanda segera diturunkan dari gedung Hotel Yamato. Dalam perundingan ini Ploegman menolak untuk menurunkan bendera Belanda dan menolak untuk mengakui kedaulatan Indonesia. Perundingan berlangsung memanas, Ploegman mengeluarkan pistol, dan terjadilah perkelahian dalam ruang perundingan. Ploegman tewas dicekik oleh Sidik, yang kemudian juga tewas oleh tentara Belanda yang berjaga-jaga dan mendengar letusan pistol Ploegman, sementara Soedirman dan Hariyono melarikan diri ke luar Hotel Yamato. Sebagian pemuda berebut naik ke atas hotel untuk menurunkan bendera Belanda. Hariyono yang semula bersama Soedirman kembali ke dalam hotel dan terlibat dalam pemanjatan tiang bendera dan bersama Koesno Wibowo berhasil menurunkan bendera Belanda, merobek bagian birunya, dan mengereknya ke puncak tiang bendera kembali sebagai bendera Merah Putih.
Setelah insiden di Hotel Yamato tersebut, pada tanggal 27 Oktober 1945 meletuslah pertempuran pertama antara Indonesia melawan tentara Inggris . Serangan-serangan kecil tersebut di kemudian hari berubah menjadi serangan umum yang banyak memakan korban jiwa di kedua belah pihak Indonesia dan Inggris, sebelum akhirnya Jenderal D.C. Hawthorn meminta bantuan Presiden Sukarno untuk meredakan situasi.

Kematian Brigadir Jenderal Mallaby

Mobil mallaby yang hancur dan terbakar 

Setelah gencatan senjata antara pihak Indonesia dan pihak tentara Inggris ditandatangani tanggal 29 Oktober 1945, keadaan berangsur-angsur mereda. Walaupun begitu tetap saja terjadi bentrokan-bentrokan bersenjata antara rakyat dan tentara Inggris di Surabaya. Bentrokan-bentrokan bersenjata di Surabaya tersebut memuncak dengan terbunuhnya Brigadir Jenderal Mallaby, (pimpinan tentara Inggris untuk Jawa Timur), pada 30 Oktober 1945 sekitar pukul 20.30. Mobil Buick yang ditumpangi Brigadir Jenderal Mallaby berpapasan dengan sekelompok milisi Indonesia ketika akan melewati Jembatan Merah. Kesalahpahaman menyebabkan terjadinya tembak menembak yang berakhir dengan tewasnya Brigadir Jenderal Mallaby oleh tembakan pistol seorang pemuda Indonesia yang sampai sekarang tak diketahui identitasnya, dan terbakarnya mobil tersebut terkena ledakan granat yang menyebabkan jenazah Mallaby sulit dikenali. Kematian Mallaby ini menyebabkan pihak Inggris marah kepada pihak Indonesia dan berakibat pada keputusan pengganti Mallaby, Mayor Jenderal Eric Carden Robert Mansergh untuk mengeluarkan ultimatum 10 November 1945 untuk meminta pihak Indonesia menyerahkan persenjataan dan menghentikan perlawanan pada tentara AFNEI dan administrasi NICA.

Perdebatan tentang pihak penyebab baku tembak
Tom Driberg, seorang Anggota Parlemen Inggris dari Partai Buruh Inggris (Labour Party). Pada 20 Februari 1946, dalam perdebatan di Parlemen Inggris (House of Commons) meragukan bahwa baku tembak ini dimulai oleh pasukan pihak Indonesia. Dia menyampaikan bahwa peristiwa baku tembak ini disinyalir kuat timbul karena kesalahpahaman 20 anggota pasukan India pimpinan Mallaby yang memulai baku tembak tersebut tidak mengetahui bahwa gencatan senjata sedang berlaku karena mereka terputus dari kontak dan telekomunikasi. Berikut kutipan dari Tom Driberg:
"... Sekitar 20 orang (serdadu) India (milik Inggris), di sebuah bangunan di sisi lain alun-alun, telah terputus dari komunikasi lewat telepon dan tidak tahu tentang gencatan senjata. Mereka menembak secara sporadis pada massa (Indonesia). Brigadir Mallaby keluar dari diskusi (gencatan senjata), berjalan lurus ke arah kerumunan, dengan keberanian besar, dan berteriak kepada serdadu India untuk menghentikan tembakan. Mereka patuh kepadanya. Mungkin setengah jam kemudian, massa di alun-alun menjadi bergolak lagi. Brigadir Mallaby, pada titik tertentu dalam diskusi, memerintahkan serdadu India untuk menembak lagi. Mereka melepaskan tembakan dengan dua senapan Bren dan massa bubar dan lari untuk berlindung; kemudian pecah pertempuran lagi dengan sungguh gencar. Jelas bahwa ketika Brigadir Mallaby memberi perintah untuk membuka tembakan lagi, perundingan gencatan senjata sebenarnya telah pecah, setidaknya secara lokal. Dua puluh menit sampai setengah jam setelah itu, ia (Mallaby) sayangnya tewas dalam mobilnya-meskipun (kita) tidak benar-benar yakin apakah ia dibunuh oleh orang Indonesia yang mendekati mobilnya; yang meledak bersamaan dengan serangan terhadap dirinya (Mallaby).
Saya pikir ini tidak dapat dituduh sebagai pembunuhan licik... karena informasi saya dapat secepatnya dari saksi mata, yaitu seorang perwira Inggris yang benar-benar ada di tempat kejadian pada saat itu, yang niat jujurnya saya tak punya alasan untuk pertanyakan ... "

Hingga Akhirnya......Ultimatum 10 November 1945

Tentara Inggris dengan peralatan perang super canggihnya


Setelah terbunuhnya Brigadir Jenderal Mallaby, penggantinya, Mayor Jenderal Robert Mansergh mengeluarkan ultimatum yang menyebutkan bahwa semua pimpinan dan orang Indonesia yang bersenjata harus melapor dan meletakkan senjatanya di tempat yang ditentukan dan menyerahkan diri dengan mengangkat tangan di atas. Batas ultimatum adalah jam 6.00 pagi tanggal 10 November 1945.
Ultimatum tersebut kemudian dianggap sebagai penghinaan bagi para pejuang dan rakyat yang telah membentuk banyak badan-badan perjuangan / milisi. Ultimatum tersebut ditolak oleh pihak Indonesia dengan alasan bahwa Republik Indonesia waktu itu sudah berdiri, dan Tentara Keamanan Rakyat (TKR) juga telah dibentuk sebagai pasukan negara. Selain itu, banyak organisasi perjuangan bersenjata yang telah dibentuk masyarakat, termasuk di kalangan pemuda, mahasiswa dan pelajar yang menentang masuknya kembali pemerintahan Belanda yang memboncengi kehadiran tentara Inggris di Indonesia.


Inggris merangsek masuk ke dalam Kota Surabaya


Pada 10 November pagi, tentara Inggris mulai melancarkan serangan berskala besar, yang diawali dengan pengeboman udara ke gedung-gedung pemerintahan Surabaya, dan kemudian mengerahkan sekitar 30.000 infanteri, sejumlah pesawat terbang, tank, dan kapal perang.
Inggris kemudian membombardir kota Surabaya dengan meriam dari laut dan darat. Perlawanan pasukan dan milisi Indonesia kemudian berkobar di seluruh kota, dengan bantuan yang aktif dari penduduk. Terlibatnya penduduk dalam pertempuran ini mengakibatkan ribuan penduduk sipil jatuh menjadi korban dalam serangan tersebut, baik meninggal maupun terluka.


Basis pertahanan gerilya Indonesia, mempertahankan wilayah 


Di luar dugaan pihak Inggris yang menduga bahwa perlawanan di Surabaya bisa ditaklukkan dalam tempo tiga hari, para tokoh masyarakat seperti pelopor muda Bung Tomo yang berpengaruh besar di masyarakat terus menggerakkan semangat perlawanan pemuda-pemuda Surabaya sehingga perlawanan terus berlanjut di tengah serangan skala besar Inggris. Tokoh-tokoh agama yang terdiri dari kalangan ulama serta kyai-kyai pondok Jawa seperti KH. Hasyim Asy'ari, KH. Wahab Hasbullah serta kyai-kyai pesantren lainnya juga mengerahkan santri-santri mereka dan masyarakat sipil sebagai milisi perlawanan (pada waktu itu masyarakat tidak begitu patuh kepada pemerintahan tetapi mereka lebih patuh dan taat kepada para kyai) shingga perlawanan pihak Indonesia berlangsung lama, dari hari ke hari, hingga dari minggu ke minggu lainnya. Perlawanan rakyat yang pada awalnya dilakukan secara spontan dan tidak terkoordinasi, makin hari makin teratur. Pertempuran skala besar ini mencapai waktu sampai tiga minggu, sebelum seluruh kota Surabaya akhirnya jatuh di tangan pihak Inggris.
Setidaknya 6,000 pejuang dari pihak Indonesia tewas dan 200,000 rakyat sipil mengungsi dari Surabaya. Korban dari pasukan Inggris dan India kira-kira sejumlah 600. Banyaknya pejuang yang gugur dan rakyat sipil yang menjadi korban pada hari 10 November ini kemudian dikenang sebagai Hari Pahlawan oleh Republik Indonesia.

Perlawanan Sengit di Penjuru Kota 
Pertempuran Surabaya merupakan peristiwa sejarah perang antara pihak tentara Indonesia dan pasukan Belanda. Peristiwa besar ini terjadi pada tanggal 10 November 1945 di Kota Surabaya, Jawa Timur. Pertempuran ini adalah perang pertama pasukan Indonesia dengan pasukan asing setelah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia dan satu pertempuran terbesar dan terberat dalam sejarah Revolusi Nasional Indonesia yang menjadi simbol nasional atas perlawanan Indonesia terhadap kolonialisme. 
Tanggal 9 November 1945 malam, suasana kota Surabaya sibuk seperti sedang menyambut hajatan. Bukan hajatan kemeriahan tetapi hajatan kematian. Besok, sesuai ancaman Inggris, kota Surabaya akan dibombardir mulai pukul 06.00 pagi.

Herannya, jangankan takut, warga Surabaya malah menyongsongnya dengan semangat bergelora, “Lebih baik mati, daripada dijajah kembali”.
Suasana semakin sibuk lewat pukul 23.00 atau setelah Gubernur Suryo berpidato melalui radio. Inti pidato menyebutkan, Pemerintah RI telah menyerahkan sepenuhnya kepada rakyat Surabaya. Jadi tak ada pilihan lain bagi warga Surabaya selain melawan sampai titik darah penghabisan.
Mereka menggunakan senjata apa saja yang bisa digunakan. Golok, keris, pedang, atau bambu runcing. Jumlah senapan mereka terbatas. Senapan hanya dimiliki oleh TKR, dan sejumlah laskar pemuda atau milisi. Itu pun masih banyak yang sama sekali tidak tahu cara mengunakan senapan.
Tanggal 10 November 1945 jam 09.00 Inggris benar-benar melaksanakan ancamannya. Mereka melakukan aksi serangan udara membobardir kota dengan hujan bom.
Selain itu, kapal-kapal perang mereka yang bersandar di pelabuhan Tanjung Perak menyemburkan ratusan kanon dan mortir dari arah utara. Tanpa ampun, banyak rakyat Surabaya tewas.
Sekira pukul 09.15 barulah pihak Indonesia mengeluarkan perintah untuk melancarkan serangan balasan, yang dilakukan secara ”jibaku”. Tak ada kesatuan pimpinan taktis dalam operasi ini, tapi arek-arek (pemuda) Suroboyo berjuang seperti banteng ketaton (banteng terluka) mengamuk ke arah posisi-posisi musuh. Hal ini menimbulkan korban yang tidak sedikit di kedua belah pihak.


Pergerakan pasukan Inggris di Surabaya

Pada hari pertama garis pertahanan Indonesia membujur dari barat ke timur kota Surabaya. Dari daerah Asem Jajar sampai selatan Pasar Turi. Di daerah Asem Jajar serangan-serangan balasan Indonesia berhasil memukul mundur pasukan musuh. Kantor pos di utara berkali-kali pindah tangan dan akhirnya dibumi hanguskan oleh pejuang Surabaya. Secara keseluruhan, pada hari pertama pasukan Inggris berhasil memenangkan pertempuran.
Hari kedua pertempuran masih berjalan tak seimbang. Tentara Inggris yang sudah terlatih masih mendominasi berbagai front pertempuran. Dengan mudah mereka mematahkan serangan pejuang Surabaya yang mungkin baru kali itu memegang senjata.
Meski begitu taktik berani mati arek-arek Suroboyo berhasil membuat tekanan psikologis untuk pasukan Inggris. Mereka melawan tank-tank Sherman Inggis yang modern dengan cara menabrakkan diri sambil membawa bahan peledak. Ledakan memang tak membuat tank hancur, namun cukup membuat kerusakan.


Kerusakan akibat gempuran Inggris

Sebelum mereka menyadari kerusakan itu, pemuda-pemuda Surabaya langsung melemparkan bom bensin ke dalam tank dan membakar pengendaranya. Taktik ini tidak sia-sia, banyak tank Inggris tak bisa bergerak bebas.
Senjata-senjata buatan Jepang sisa Perang Dunia II lumayan membantu, bahkan senjata berat ini merontokkan dua pesawat udara Inggris dan menewaskan seorang perwira Inggris bernama Brigadir Jenderal Robert Guy Loder Symonds.
Walau berhasil membuat sejumlah pukulan, satu pekan pertama perang masih milik Inggris. Mereka di atas angin. Pasukan infantri, kavaleri dan artileri Inggris mendesak masuk ke dalam kota. Banyak korban jiwa berjatuhan di pihak Indonesia.
Kuasai Surabaya 
 
Mulai pekan kedua, situasi berubah. Koordinasi antar pasukan Indonesia sudah solid dan bala bantuan dari Malang, Madura, Mojokerto, Blitar, Kudus, Bali, serta daerah lain mulai berdatangan. Ditambah lagi para pemuda sudah mulai menguasai teknik menembak.
Para pejuang Surabaya berhasil menganggu suplai logistik Inggris. Di sisi lain suplai makanan bagi pejuang Surabaya justru berlimpah. Makanan berupa nasi bungkus, ketela pohon, pisang dan lain-lain membanjir masuk kota. Sehingga dimanapun posisi pejuang nyaris tidak sulit dalam menemukan makanan.
Serangan-serangan Indonesia juga sudah mulai teratur. TKR (Tentara Keamanan Rakyat) mulai bisa mengatur pembagian tugas-tugas pertempuran untuk pertama kalinya, yakni sektor timur, tengah dan utara. Pertempuran sengit terus berlangsung hingga pekan kedua.
Namun begitu, Inggris memang masih terlalu kuat. Dengan persenjataan modern dan pasukan terlatih, penaklukan Surabaya tinggal menunggu waktu. Tetapi pasukan Indonesia terus bertahan hingga darah terakhir.

Tanggal 26 November 1945, atau setelah enam belas hari bertempur, pasukan Inggris berhasil menguasai Wonokromo, basis pejuang yang selama ini cukup memberi perlawanan.
Esoknya, mereka terus mendesak masuk ke Gunungsari. Wilayah yang jadi basis pertahanan terakhir pasukan Indonesia ini pun berhasil ditaklukan. Tanggal 27 November 1945 Surabaya relatif dapat ditundukkan Inggris.

Inggris menang, tapi mereka betul–betul mendapat pelajaran berharga dari arek-arek Suroboyo. Perang yang mereka perkirakan berlangsung tiga hari ternyata meleset jauh.

Pihak Inggris menyebutkan, bahwa berdasarkan data yang mereka kumpulkan, tercatat “hanya” 6.000 korban tewas di pihak Indonesia. Tetapi Dr. Ruslan Abdulgani dalam satu kunjungan ke Inggris, mendapat kesempatan untuk melihat arsip nasional, dan antara lain melihat catatan mengenai jumlah korban yang tewas. Abdulgani menulis :


“Pihak Inggris menemukan di puing-puing kota Surabaya dan di jalan-jalan 1.618 mayat rakyat Indonesia ditambah lagi 4.697 yang mati dan luka-luka. Menurut laporan dr. Moh. Suwandhi, kepala kesehatan Jawa Timur, dan yang aktif sekali menangani korban pihak kita, maka jumlah yang dimakamkan secara massal di Taman Bahagia di Ketabang, di makam Tembokgede, di makam kampung-kampung di Kawatan, Bubutan, Kranggan, Kaputran, Kembang Kuning, Wonorejo, Bungkul, Wonokromo, Ngagel dan di tempat-tempat lain adalah sekitar 10.000 orang. Dengan begitu dapat dipastikan bahwa sekitar 16.000 korban telah jatuh di medan laga bumi keramat kota Surabaya.”






for tambahan...........

Mallaby Tewas Oleh Pasukannya Sendiri

Brigadir Jenderal Mallaby


Perdebatan seputar Tewasnya Mallaby
Tom Driberg, seorang Anggota Parlemen Inggris dari Partai Buruh Inggris (Labour Party). Pada 20 Februari 1946, dalam perdebatan di Parlemen Inggris (House of Commons) meragukan bahwa baku tembak ini dimulai oleh pasukan pihak Indonesia. Berikut kutipan dari Tom Driberg:

“… Sekitar 20 orang (serdadu) India (milik Inggris), di sebuah bangunan sisi lain alun-alun, telah terputus dari komunikasi lewat telepon dan tidak tahu tentang gencatan senjata. Mereka menembak secara sporadis pada massa (Indonesia). Brigadir Mallaby keluar dari diskusi (gencatan senjata), berjalan lurus ke arah kerumunan, dengan keberanian besar, dan berteriak kepada serdadu India untuk menghentikan tembakan. Mereka patuh kepadanya. Mungkin setengah jam kemudian, massa di alun-alun menjadi bergolak lagi. Brigadir Mallaby, pada titik tertentu dalam diskusi, memerintahkan serdadu India untuk menembak lagi. Mereka melepaskan tembakan dengan dua senapan Bren dan massa bubar dan lari untuk berlindung; kemudian pecah pertempuran lagi dengan sungguh gencar. Jelas bahwa ketika Brigadir Mallaby memberi perintah untuk membuka tembakan lagi, perundingan gencatan senjata sebenarnya telah pecah, setidaknya secara lokal. Dua puluh menit sampai setengah jam setelah itu, ia (Mallaby) sayangnya tewas dalam mobilnya-meskipun (kita) tidak benar-benar yakin apakah ia dibunuh oleh orang Indonesia yang mendekati mobilnya; yang meledak bersamaan dengan serangan terhadap dirinya (Mallaby).
Saya pikir ini tidak dapat dituduh sebagai pembunuhan licik… karena informasi saya dapat secepatnya dari saksi mata, yaitu seorang perwira Inggris yang benar-benar ada di tempat kejadian pada saat itu, yang niat jujurnya saya tak punya alasan untuk pertanyakan … “

Setelah disepakati truce (gencatan senjata) tanggal 30 Oktober 1945, pimpinan sipil dan militer pihak Indonesia, serta pimpinan militer Inggris bersama-sama keliling kota dengan iring-iringan mobil, untuk menyebarluaskan kesepakatan tersebut. Dari 8 pos pertahanan Inggris, 6 di antaranya tidak ada masalah, hanya di dua tempat, yakni di Gedung Lindeteves dan Gedung Internatio yang masih ada permasalahan/tembak-menembak.

Setelah berhasil mengatasi kesulitan di Gedung Lindeteves, rombongan Indonesia-Inggris segera menuju Gedung Internatio, pos pertahanan Inggris terakhir yang bermasalah. Ketika rombongan tiba di lokasi tersebut, nampak bahwa gedung tersebut dikepung oleh ratusan pemuda. Setelah meliwati Jembatan Merah, tujuh kendaraan memasuki area dan berhenti di depan gedung. Para pemimpin Indonesia segera ke luar kendaraan dan meneriakkan kepada massa, supaya menghentikan tembak-menembak.

Kapten Shaw, Mohammad Mangundiprojo dan T.D. Kundan ditugaskan masuk ke gedung untuk menyampaikan kepada tentara Inggris yang bertahan di dalam gedung, hasil perundingan antara Inggris dengan Indonesia. Mallaby ada di dalam mobil yang diparkir di depan Gedung Internatio. Beberapa saat setelah rombongan masuk, terlihat T.D. Kundan bergegas keluar dari gedung, dan tak lama kemudian, terdengar bunyi tembakan dari arah gedung. Tembakan ini langsung dibalas oleh pihak Indonesia. Tembak-menembak berlangsung sekitar dua jam. Setelah tembak-menembak dapat dihentikan, terlihat mobil Mallaby hancur dan Mallaby sendiri ditemukan telah tewas.

Ada dua kejadian pada tanggal 30 Oktober 1945, yang pada waktu itu dilemparkan oleh Inggris ke pihak Indonesia, sebagai yang bertanggung jawab, dan kemudian dijadikan alasan Mansergh untuk “menghukum para ekstremis” dengan mengeluarkan ultimatum tanggal 9 November 1945:
1. Orang-orang Indonesia memulai penembakan, dan dengan demikian telah melanggar gencatan senjata (truce),
2. Orang-orang Indonesia membunuh Brigadier Mallaby.
Tewasnya Mallaby memang sangat kontroversial, tetapi mengenai siapa yang memulai menembak, di kemudian hari cukup jelas. Kesaksian tersebut justru datangnya dari pihak Inggris. Ini berdasarkan keterangan beberapa perwira Inggris yang diberikan kepada beberapa pihak.

Yang paling menarik adalah yang disampaikan kepada Tom Driberg, seorang Anggota Parlemen Inggris dari Partai Buruh (Labour). Pada 20 Februari 1946, dalam perdebatan di Parlemen (House of Commons) Tom Driberg, 
Di sini dia meragukan, bahwa Mallaby terbunuh oleh orang Indonesia. Dia menyatakan:

“….it is not absolutely certain whether he was killed by Indonesians who were approaching his car; which exploded simultaneously with the attack on him.”

Selanjutnya dia juga membantah, bahwa tewasnya Mallaby akibat “dibunuh secara licik” (foully murdered). Kelihatannya pihak pimpinan tentara Inggris -untuk membangkitkan/memperkuat rasa antipati terhadap Indonesia- rela mendegradasi kematian seorang perwira tinggi menjadi “dibunuh secara licik” daripada menyatakan “killed in action” –tewas dalam pertempuran- yang menjadi kehormatan bagi setiap prajurit.

Juga penuturan Venu K. Gopal, waktu itu berpangkat Mayor, yang adalah Komandan Kompi D, Batalion 6, Mahratta. Kompi D ini mengambil tempat pertahanan di Gedung Internatio. Tanggal 8 Agustus 1974, dia menulis kepada J.G.A. Parrot antara lain :

“Let me first give you some background. “D” Coy had been under fire off and on and had already casualties. The firing came from other buildings on the square and by and large we were able to contain it. We could, however, see that armed men barred all the exits from the square.
Meanwhile armed Indonesians swarmed over to the veranda of the building and I had to bluntly tell them that I would fire if they started pressing into the building. By this time I could not see Brigade Mallaby or the LOs (Liaison Officers) because of the crowds on the veranda.
Just then Capt. Shaw and Kundan ( I did not know their names at that time) tried to get into the building but were prevented. Kundan then shouted to the crowd that he would get us surrender and he and Capt.Shaw were then allowed to go into the building if they took an Indonesian officer with them. I allowed them in hoping to play for time. After a little time Kundan went out of the building, leaving Capt. Shaw and the Indonesian Officer behind.
Soon thereafter the armed men started pushing in and I was left with no option but to open fire. The Decision was mine and mine alone. Capt. Smith is correct when he says that BM (Mallaby-pen.) did not give any orders to Capt. Shaw..”

Pict Mallaby Tewas

Mallaby Konvoi di Surabaya, guna menyerukan gencatan senjata
Mobil Buick Mallaby yang hancur dan terbakar akibat lemparan granat Pasukannya sendiri
Dengan pengakuan Mayor Gopal, Komandan Kompi D yang bertahan di Gedung Internatio, sekarang terbukti, bahwa yang memulai menembak adalah pihak Inggris; tetapi kelihatannya dia masih ingin melindungi bekas atasannya dengan menggarisbawahi, bahwa perintah menembak tersebut adalah keputusannya sendiri. Ini jelas bertentangan dengan kesaksian T.D. Kundan, yang diperkuat dengan kesaksian seorang perwira Inggris melalui Tom Driberg.

Dengan pengakuan ini terlihat jelas, Inggris pada waktu itu memutar balikkan fakta dan menuduh bahwa gencatan senjata telah dilanggar pihak Indonesia (the truce which had been broken). Di dalam situasi tegang bunyi ledakan ataupun tembakan akan menimbulkan kepanikan pada kelompok-kelompok yang masih diliputi suasana tempur, sehingga tembakan tersebut segera dibalas; maka pertempuran di seputar Gedung Internatio pun pecah lagi.

Dari pengakuan kedua perwira Inggris tersebut telah jelas, bahwa pemicu terjadinya tembak-menembak adalah pihak Inggris sendiri. Dugaan ini sebenarnya tepat, bila disimak jalan pikiran Mallaby, seperti dituliskan oleh Capt. Smith:

“…He (Mallaby, red.) did not believe in the safe-conducts in so far as it applied to us, but thought that some at least of the Company might get away. Accordingly Capt. Shaw was sent into the building to give the necessary orders…..”

Sebelum itu, menurut Smith, telah terjadi perbedaan pendapat antara Kapten Shaw dan Mallaby mengenai permintaan para pemuda Indonesia, agar tentara Inggris meninggalkan persenjataan mereka di dalam gedung. Awalnya, Kapten Shaw menyetujui permintaan ini, tetapi Mallaby kemudian membatalkannya.

KET: DIAMBIL DARI BERBAGAI SUMBER 
Baca lebih lanjut →

Rabu, 13 Juli 2011

Software 4Free Video Converter


SUMBERSEGORO: 
Perangkat lunak gratis yang satu ini akan membantu Anda dalam mengedit dan mengkonversi format file video, audio, dan animasi secara efektif dan efesien.

4Free Video Converter adalah sebuah aplikasi yang menawarkan solusi gratis dalam hal kebutuhan konversi. Aplikasi ini mendukung pengeditan format file video-audio dan animasi ke dalam format file video-audio yang Anda inginkan.

Aplikasi ini mendukung berbagai format file populer, seperti H.264/MPEG-4 AVC, AVCHD (*.m2ts, *.mts), MKV, HD WMV, MPEG2/MPEG-4, TS HD. Selain itu, aplikasi ini juga mendukung konversi dari HD ke SD, mengkonversinya ke dalam format file, antara lain AVI, MPEG-4, WMV, DivX, H.264/AVC, dan masih banyak lagi.

File size: 19.7 MB (freeware)
Sistem operasi: Windows 98/Me/2000/XP/2003/Vista/Server 2008/7/NT

Download
Baca lebih lanjut →

Software Protect My Disk


SUMBERSEGORO: 
Penggunaan perangkat USB flash disk kian menjamur, akan tetapi, ancaman dan bahaya bagi perangkat tersebut juga kian banyak, terutama virus Autorun. Inilah salah satu solusi dalam melindungi USB flash disk kesayangan Anda.

Protect My Disk adalah sebuah perangkat lunak ringan dan gratis yang akan melindungi perangkat USB flash disk kesayangan Anda dari virus semacam Autorun. Mungkin PC Anda sudah terlindungi program antivirus, akan tetapi bagaimana bila perangkat tersebut Anda masukkan ke PC punya teman yang tidak terlindungi? Protect My Disk adalah solusi yang tepat bagi perangkat USB flash disk kesayangan Anda.

File size: 320.37 KB (freeware)
Sistem operasi: Windows XP/2000/Vista/7

Download
Baca lebih lanjut →

Software Portable Secure Folder




SUMBERSEGORO : 
Aplikasi yang satu ini akan melindungi folder Anda dari tangan jahil secara efektif dan efisien serta mampu dioperasikan dari sebuah perangkat USB atau perangkat portabel lainnya.

Portable Secure Folder, sesuai dengan namanya merupakan salah satu aplikasi yang didesain untuk mengamankan serta melindungi data/file milik Anda yang tersimpan dalam sebuah folder.

Selain itu, aplikasi ini bisa dijalankan dalam sebuah perangkat portabel, semisal USB flash drive. User interface yang intuitif, simpel, serta fitur dan fungsi pelindung yang cukup efektif, akan lebih memudahkan Anda dalam memberikan password pada folder penting Anda.

File size: 387 KB (freeware)
Sistem operasi: Windows all

Download
Baca lebih lanjut →

Software PDF24 Creator




SUMBERSEGORO : 
Solusi lengkap dan gratis dalam menciptakan sebuah dokumen berbentuk PDF atau mengkonversi file/dokumen ke bentuk PDF dengan cara yang mudah dan cepat.

PDF24 Creator adalah sebuah perangkat lunak yang bisa dipilih untuk membuat dokumen PDF atau mengkonversi dokumen Anda ke dalam bentuk PDF. Dengan yang satu ini Anda tidak perlu merogoh kocek dan penggunaannya cukup mudah dan cepat.

Selain itu, fitur dan fungsi yang dimiliki oleh aplikasi ini cukup lengkap dan bisa diandalkan, meski bersifat gratis. Ditambah lagi, Anda bisa menggunakan fasilitas yang disediakan pengembangnya dalam pembuatan dokumen PDF secara online tanpa Anda harus menginstall.

File size: 9.59 MB (freeware)
Sistem operasi: Windows XP/Vista/7

Download
Baca lebih lanjut →

English French German Spain

Italian Dutch Russian Brazil

Japanese Korean Arabic Chinese Simplified
Translate Widget by Google